LENTERA CITRA TRIWULAN III/2022

SINOPSIS

https://drive.google.com/file/d/1GsBF87AxecMtJaIytRGryQC2gi8iS7RU/view?usp=share_link 

 

Pada awal berkembangnya perbankan nasional di Indonesia sekitar tahun 1960-an, salah satu masalah yang dihadapi adalah kekurangan sumber daya manusia (SDM) yang  memiliki kemampuan di bidang perbankan. Saat ini masih terbatas SDM yang menguasai kemampuan operasional, managerial, dan kepemimpinan di bidang perbankan. Langkanya SDM yang memiliki kemampuan seperti tersebut, menimbulkan terjadinya “perebutan” SDM di dunia perbankan nasional.

Kendala seperti itu tampaknya juga dialami oleh perbankan syariah di Indonesia. Meskipun perbankan syariah sudah berumur sekitar 30 tahun sejak berdirinya Bank Muamalat, namun perbankan syariah masih mengalami kekurangan SDM yang memadai. Hal itu tentu berpotensi menghambat pengembangan perbankan syariah.

Padahal pengembangan perbankan syariah di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar mengingat Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Selain itu porsi pengeluaran muslim secara global terus bertumbuh sejalan dengan berkembangnya penduduk muslim di dunia dan meningkatnya kesadaran warga muslim bertransaksi secara syariah Islam. Hal ini merupakan suatu potensi pasar yang luar biasa besar bagi perbankan syariah Indonesia.

Kebutuhan SDM perbankan syariah bukan saja jumlahnya yang belum mencukupi, tetapi juga kualitasnya, yaitu SDM yang profesional dalam pengelolaan perbankan syariah, baik dari segi operasional, managerial, maupun kepemimpinan yang berlamdaskan hukum dan nilai-nilai Islam. Selain itu juga harus handal dalam menerapkan teknologi informasi di bidang perbankan syariah yang semakin berkembang dan canggih.

SDM yang memenuhi kualifikasi seperti dimaksud saat ini belum tersedia secara cukup, sehingga perlu segera diatasi. Salah satu jalan keluarnya adalah dengan mendidik SDM perbankan syariah. Perbankan syariah harus berusaha sendiri melalui kursus atau pendidikan intern yang diselenggarakan oleh masing-masing bank syariah. Kursus atau pendidikan tersebut dilakukan terhadap SDM yang sudah ada dan SDM yang akan diterima. Upaya ini tentu sangat membebani biaya operasional, terutama bagi bank syariah yang kecil-kecil. 

Tentu akan lebih baik dan efisien kalau kursus dan pendidikan tersebut bisa diselenggarakan bersama-sama. Dalam hubungan ini Asosiasi Bank Syariah Indonesia (ASBISINDO) kiranya bisa menjalin kerja sama dengan badan atau lembaga yang berkepentngan dalam pengembangan perbankan syariah di Indonesia, seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. (Wh).

atas